PERAN GUBERNUR DALAM KONTEKS DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH

dedy

Oleh:
Deddy S Bratakusumah, PhD

(Pengajar Program Adminstrasi Publik Program Pascasarjana Universitas Esa Unggul)

 

Pendahuluan

Indonesia merupakan suatu bangsa yang bernegara dengan memilih bentuk negara kesatuan. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwasanya suatu bangsa bernegara dan memilih bentuk Negara bukanlah suatu takdir, melainkan suatu pilihan. Pilihan itu merupakan keputusan politik dari para pendiri negara bangsa ini. Para founding fathers and mothers negara ini telah memutuskan dalam suatu musyawarah untuk mufakat bentuk negara kita adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Bentuk negara serta semua keinginan dan cita-cita bangsa bernegara tertuang didalam konstitusi, adapun konstitusi yang berlaku di Republik Indonesia saat ini adalah UUD 1945 yang telah dilakukan amandemen sebanyak empat kali pada awal masa reformasi. Didalam pembukaan konstitusi (preambule) tersebut tercantum apa yang dikenal sebagai Visi atau Cita-Cita dan Tujuan negara yakni “…Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”. Selanjutnya visi tersebut dijabarkan dalam misi pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berbunyi: “..Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk (1) Memajukan Kesejahteraan Umum, (2) Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, dan (3) Ikut Melaksanakan Ketertiban Dunia berdasarkan Kemerdekaan Perdamaian yang Abadi dan Keadilan Sosial.” Apabila ditinjau dari kerangka berfikir manajemen strategis, maka pembukaan UUD 1945 telah menerapkan kaidah manajemen strategis tersebut.

Oleh karena negara Indonesia berbentuk negara kesatuan maka sejak negara ini dilahirkan pemegang kedaulatan dan pemegang kekuasaan adalah pemerintah pusat. Pada dasarnya pemerintah pusat lah yang memiliki kendali kekuasaan. Namun para pendiri negara ini telah berwawasan kedepan bahwasanya untuk negara seluas, dan seberagam Indonesia tidaklah mungkin dapat dikendalikan hanya dari pusat. Itulah sebabnya dalam konstitusi telah diamanatkan akan adanya desentralisasi yang dijalankan dengan azas otonomi dan pembantuan . Pemikiran ini merupakan perwujudan dari upaya untuk memperpendek rentang kendali pemerintah pusat.

Dalam pelaksanaannya desentralisasi dan sentralisasi bukan merupakan hal yang dikotomis tetapi bersifat “continuum”. Artinya tidak mungkin ada desentralisasi tanpa ada sentralisasi. Desentralisasi tanpa dibarengi dengan sentralisasi akan terjadi disintegrasi. Tetapi sebaliknya sentralisasi juga berakibat pada panjangnya rentang kendali. Dengan demikian tidak ada urusan atau kewenangan yang mutlak menjadi urusan daerah, melainkan bersifat “concurrent” atau dikerjakan bersama baik oleh pusat maupun oleh daerah. Pusat harus tetap melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi. Prinsip utama dari desentralisasi dan otonomi daerah adalah “Bringing The State Closer to The People”, artinya dengan desentralisasi dan otonomi daerah maka pemerintah akan semakin dekat dengan rakyatnya. Intisari dari prinsip ini adalah peningkatan pelayanan dan akuntabilitas, bukan kekuasaan. Secara diagramatis ketentuan ini terdapat pada Gambar 1.

Gambar 1
Pengaturan Kewenangan
deddy1
Sumber: Deddy S Bratakusumah (2007)

Lebih jauh lagi pelimpahan urusan dari pusat ke daerah dapat dilakukan dalam berbagai bentuk yakni: (1) dekonsentrasi, (2) desentralisasi, (3) delegasi, bahkan dapat berupa (4) privatisasi, kepada swasta. Semua bentuk ini dijalankan oleh pemerintah Indonesia dalam kerangka melaksanakan amanat konstitusi. Distribusi urusan pemerintahan tersebut terlihat pada Gambar 2.

Gambar 2
Distribusi Urusan Pemerintahan

deddy2

Sumber: Deddy S Bratakusumah (2006)

Secara lebih rinci UUD 1945 menyatakan bahwa negara kesatuan Republik Indonesia terdiri dari daerah-daerah propinsi, dan propinsi terdiri dari daerah-daerah Kabupaten dan Kota . Dari ketentuan ini jelas bahwa di Indonesia secara konstitusional terdapat hubungan hirarki antara Kabupaten dan Kota dengan Propinsi. Ketentuan ini menyuratkan dan menyiratkan bahwa propinsi harus menjadi atasan Kabupaten dan Kota yang ada di propinsi tersebut.

Apa yang diinginkan oleh para pendiri negeri kita dengan pengaturan pembagian kewenangan dan urusan anatara pusat dan daerah adalah agar kesejahteraan rakyat, pemberdayaan rakyat dan demokratisasi dapat terwujud dengan cepat. Artinya kehendak bangsa akan cepat terwujud dengan desentralisasi dan otonomi daerah, karena pemerintahan menjadi lebih dekat dan akuntabilitas menjadi lebih nyata. Rakyat dapat dengan mudah dalam menyampaikan keinginan dan keluhan yang menyangkut tugas dan akuntabilitas pemerintah dalam melayani masyarakat.

Sementara itu berdasarkan Undang-undang No 32 tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 . Dengan demikian pemerintahan daerah terdiri dari Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, keduanya mendapatkan kedudukan yang sejajar dan setara, sehingga keduanya harus bahu-membahu mewujudkan cita-cita bangsa bernegara. Keduanya tidak saling menjatuhkan, melainkan harus saling bersinergi. Fungsi yang dimiliki oleh DPRD meliputi fungsi (1) legislasi, (2) anggaran, dan (3) pengawasan. Fungsi-fungsi tersebut  harus dipergunakan oleh DPRD untuk menjaga akuntabilitas pemerintahan. Bukan untuk menjadi hambatan pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Peran Gubernur

Khusus mengenai peran gubernur, undang-undang tersebut mengamanatkan bahwa gubernur memiliki peran ganda, yaitu (1) sebagai pemangku dan pelaksana desentralisasi, dan (2) sebagai pemangku dan pelaksana dekonsentrasi, atau wakil dari pemerintah pusat . Dengan demikian akuntabilitas seorang gubernur adalah kepada rakyat yang memilihnya dan kepada presiden selaku kepala negara. Dalam melaksanakan tugasnya gubernur mendapatkan dana dari dua sumber yakni dari APBD dan dari APBN dalam bentuk dana dekonsentrasi.

Dengan memiliki peran ganda tersebut maka tugas gubernur dalam kerangka dekonsentrasi meliputi: (1) Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten dan kota, (2) Koordinasi penyelenggaraan urusan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, dan (3) Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah provinsi dan kabupaten/kota. Dengan melakukan rapat koordinasi secara berkala dengan para bupati dan walikota, akan tercipta mekanisme kerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Untuk lebih sempurnanya pelaksanaan dekonsentrasi tersebut maka strategi yang harus dilakukan oleh para gubernur meliputi: (1) Bertindak tanggap sebagai wakil pusat, tidak bergantung kepada pemerintah pusat, (2) Melakukan rapat koordinasi secara berkala dengan bupati dan walikota untuk pembinaan dan pengawasan dan mengkoordinasikan hal-ihwal yang menyangkut kepentingan nasional (national interests), (3) Sebagai motivator, mediator, dan fasilitator bagi kabupaten dan kota, dan (4) Fokus utama bukan kepada implementasi kebijakan tetapi pada koordinasi.

Dengan menjalankan tugas yang berfokus sebagai wakil pemerintah pusat maka akan terjadi konsekwensi kelembagaan yang ada di propinsi, yang berupa; (1) Kelembagaan di propinsi harus lebih bersifat sebagai koordinator,dan penilik (supervisor), bukan pelaksana, (2) Dinas-dinas dan Badan-badan serta Lembaga-lembaga di propinsi diarahkan kepada pengawasan kepatuhan (compliance) kabupaten dan kota terhadap urusan wajibnya sesuai dengan standar pelayanan minimum (SPM).

Semua upaya tersebut selain untuk mendudukan peran dan tugas gubernur sesuai dengan peraturan perundangan yang ada juga sebagai antisipasi terhadap tantangan yang dihadapi bangsa dan daerah pada umumnya, tantangan tersebut dapat dikategorikan dalam dua hal yakni dari dalam dan dari luar, keduanya menyangkut (1) Kesadaran dan kepedulian masyarakat atas hak hidup dan penghidupan yang layak dan baik, dan (2) Persaingan dengan negara lain dalam era perdagangan bebas dan globalisasi.

Dengan telah berubahnya paradigma dalam penyelenggaraan pemerintahan maka peran daerah dalam pembangunan akan menjadi: (1) bersifat fasilitatif dan katalistik (to steer not to row), (2) Bertindak efisien, dengan jalan; a) meningkatkan pelayanan, b) meningkatkan akuntabilitas, dan c) mengurangi hambatan birokrasi, serta (3) bersikap terbuka.

Dalam meningkatkan daya saing serta menarik minat pemodal untuk menanamkan modalnya di Indonesia, khususnya di daerah maka berbagai kejelasan dan kepastian yang diinginkan oleh swasta meliputi: (1) kemudahan perizinan, (2) kepastian sistem retribusi dan perpajakan, (3) kepastian dan kemudahan masalah pertanahan, (4) tersedianya informasi tata ruang dan tata guna tanah, (5) tersedianya sarana, prasarana dan utilitas perkotaan, (6) tersedianya sumber enerji, (7) tersedianya fasilitas informatika dan telekomunikasi, dan (8) mudahnya dan tersedianya informasi sumber daya (alam, manusia, buatan).

Untuk menghadapi berbagai tantangan dan dalam meningkatkan daya saing nasional maka langkah strategis yang harus dilakukanoleh daerah meliputi: (1) melakukan identifikasi kekuatan dan kelemahan manajemen dan kelembagaan daerah, (2) mengupayakan pencerahan dan pemberdayaan masyarakat, (3) meningkatkan partisipasi para pihak (stake holders), (4) menciptakan keterbukaan dan akuntabilitas, (5) menerapkan profesionalisme manajemen daerah, (6) melakukan peningkatan pelayanan, dan (7) melakukan penegakan hukum dan ketertiban.

Desentralisasi dan otonomi daerah merupakan perjalanan yang telah mencapai satu titik, dan tidak bisa mundur kembali (point of no return), karenanya perlu senantiasa kita evaluasi dan kita koreksi. Semoga upaya desentralisasi dan otonomi daerah dapat mempercepat upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat dan upaya meningkatkan daya saing bangsa.

Penutup

Gubernur selaku pelaksana desentralisasi dan otonomi daerah serta selaku wakil pusat di daerah harus dengan cermat memposisikan diri dalam menjalankan tugasnya. Hubungan hirarki antara gubernur dan walikota serta bupati merupakan hubungan konstitusional, karenanya harus diwujudkan dalam kerangka pikir pemcapaian cita-cita bangsa bernegara, yakni terwujudnya masyarakat yang makmur dalam keadilan dan adil dalam kemakmuran.

 

Daftar Pustaka

Bratakusumah, Deddy Supriady, dan Dadang Solihin, ” Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah ”, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004.

Bratakusumah, Deddy Supriady, ”Hubungan Pusat Daerah dalam kerangka UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah” Bahan Kuliah, Universitas Indonesia, Depok, 2006.

Bratakusumah, Deddy Supriady, ”Desentralisasi Urusan Pemerintahan” Bahan Paparan, Kementerian Negara PAN, Jakarta, 2007.

Riyadi dan Deddy Supriady Bratakusumah, ”Perencanaan Pembangunan Daerah: Strategi Menggali Potensi Dalam Mewujudkan Otonomi Daerah  ”, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003.

Widjaja, HAW. “ Otonomi Daerah dan Daerah Otonom”, PT Rajagrafindo Persada “, Jakarta, 2002.

UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

BERIKAN KOMENTAR DAN PERTANYAAN ANDA